Keseruan Bercinta Dengan Kakak Ipar
Mbak Ery, begitu aku memanggilnya, sudah menikah dan memiliki dua anak. Berbeda dengan istriku yang cenderung kurus, Mbak Ery bertubuh montok dengan dada dan pantat yang lebih besar.
Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku, sehingga aku dan istriku sering berkunjung ke sana, begitu pula sebaliknya. Namun, aku lebih suka datang ke rumahnya karena Mbak Ery biasanya memakai pakaian rumah yang santai, bahkan cenderung terbuka. Suatu pagi, saat aku berkunjung, dia baru bangun tidur dan mengenakan daster tipis tembus pandang yang memperlihatkan buah dadanya yang besar tanpa bra. Pernah juga suatu ketika, Mbak Ery keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk dililitkan, lalu tiba-tiba handuk itu melorot sehingga aku terpana melihat tubuh montoknya yang bugil. Sayangnya, saat itu istriku ada di sampingku, jadi aku pura-pura membuang muka.
Suatu Minggu pagi, istriku memintaku mengantarkan makanan untuk keponakannya, anak-anak Mbak Ery. Tanpa pikir panjang, aku segera melaju ke rumahnya—kali ini sendirian. Yang membuatku semakin bersemangat adalah fakta bahwa suami Mbak Ery sedang tidak di rumah.
Sesampainya di sana, semua masih tidur, sehingga yang membukakan pintu adalah pembantunya. Aku masuk dan, setelah memastikan si pembantu sudah naik ke kamar, aku mulai bergerilya.
Perlahan, kubuka pintu kamar Mbak Ery. Seperti yang kuduga, dia tidur dengan daster tipis yang bagian bawahnya tersingkap hingga memperlihatkan paha dan celana dalam hitamnya. Aku menelan ludah dan langsung terangsang melihat paha montoknya yang putih mulus, apalagi dengan kontras celana dalam hitam yang mencolok.
Aku sudah mempersiapkan segalanya untuk menikmati tubuh montok kakak iparku itu. Setelah puas memandanginya, aku menuju meja makan dan melihat dua gelas teh manis terhidang—satu untukku dan satu untuk Mbak Ery. Dengan penuh semangat, aku meneteskan cairan perangsang yang kubeli sebelumnya ke dalam tehnya. Aku berharap dia akan terbakar nafsu sehingga tidak menolak sentuhanku.
Dewi keberuntungan memang berpihak padaku pagi itu. Tak lama kemudian, Mbak Ery bangun dan berjalan keluar kamar dengan daster minim yang semakin membuatku tergila-gila.
“Eh, ada Farhan, udah lama?” sapanya dengan suara serak yang seksi.
“Baru, Mbak. Antar makanan buatan Rina,” jawabku sambil mataku tak lepas dari buah dadanya yang tak mengenakan bra.
Mbak Ery sangat cuek. Dia tak peduli tatapan nakalku yang terus mengamati payudaranya yang menggelantung di balik daster tipis. Dengan malas, dia menghirup teh yang sudah kucampur obat perangsang. Menurut teori, dalam 5-10 menit, hormonnya akan melonjak dan nafsunya terbakar.
Setelah minum teh, dia masuk kamar mandi untuk cuci muka dan membersihkan diri. Ketika keluar, wajahnya sudah lebih segar, tapi masih dengan daster yang sama. Dia lalu memanggil pembantunya dan menyuruhnya pergi ke pasar. Semakin sempurna, pikirku.
Setelah beraktivitas sebentar, dia kembali ke kamar—mungkin untuk ganti baju. Aku mengikutinya pelan-pelan, dan benar saja, dia tidak menutup pintu dengan rapat. Apakah dia cuek atau sengaja memberiku kesempatan mengintip?
Penisku semakin keras melihatnya melepas daster. Oh, rupanya obat perangsang mulai bekerja. Mbak Ery terlihat gelisah, lalu mengusap-usap selangkangannya. Dia melepas celana dalamnya dan kini benar-benar bugil. Tangannya mulai meraba-raba area kewanitaannya. Tidak, aku tak akan biarkan dia masturbasi sendiri.
Dengan penuh keberanian, kubuka celanaku dan membiarkan penisku yang sudah tegang mengacung bebas.
“Farhan… kamu…!” teriaknya kaget saat aku masuk kamar.
“Daripada pakai tangan, pakai ini aja, Mbak,” kataku sambil memegang penisku.
“Gila kamu! Jangan kurang ajar!” bentaknya saat aku mendekat.
Dia mencoba menolak, tapi nafsu birahinya membuatnya tak punya cukup tenaga untuk melawan. Ketika tanganku meraih dan meremas payudaranya, dia hanya mengeluh, “Gila kamu!” tapi tidak menghentikanku.
Aku semakin yakin dia menikmatinya. Mbak Ery akhirnya memegang penisku dan berkata, “Besar banget punya kamu, Farhan.”
“Pengin masuk memek Mbak,” jawabku.
Dia tersenyum manja, “Gila kamu!”
“Iya, aku tergila-gila sama Mbak,” rayuku sambil terus memainkan putingnya.
Kini dia benar-benar pasrah. Aku dengan mudah meraba vaginanya yang sudah basah.
“Kayaknya memeknya udah minta, nih, Mbak,” kataku.
“Gila kamu!” lagi-lagi dia mengeluh.
“Nungging, Mbak. Aku mau dari belakang,” pintaku untuk posisi doggy style.
Dia menggerutu tapi menurut. Pantat montoknya yang selama ini kuidamkan akhirnya bisa kuraih. Perlahan, kumasukkan penisku ke dalam vaginanya—tak sulit, karena sudah basah dan pernah melahirkan.
Tak lama, Mbak Ery mencapai orgasme lebih dulu. Tapi pagi itu benar-benar milikku. Meski sudah klimaks, dia masih bersemangat meladeniku sampai akhirnya kami orgasme bersama.
“Sembarangan kamu numpahin sperma di memekku, Farhan!” protesnya saat aku memuncratkan isi zakarku ke dalamnya.
“Habis enak sih, memeknya,” jawabku sambil dia masih menggeliat menikmati sisa orgasmenya.
Setelah itu, kami berciuman seperti sepasang kekasih.
“Kamu memang gila, Farhan. Jangan bilang siapa-siapa, ya!” bisiknya.
“Ya iyalah, masa mau aku cerita?” candaku. Dia tertawa.
“Kapan-kapan lagi, ya, Mbak,” pintaku.
“Gila… kamu gila…” jawabnya sambil berjalan ke kamar mandi.
Aku memandang tubuh montoknya dengan puas. Akhirnya, tubuh impian itu kunikmati juga.
Dan tentu saja, cerita tak berhenti di situ. Setiap ada kesempatan, kami mengulanginya lagi—tidak hanya di rumahnya, tapi juga di rumahku, bahkan kadang kami janjian di luar untuk bermain di mobil. Pokoknya, seru banget!